BERITASEJABAR.id – Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menjadi salah satu nama paling potensial untuk diusung dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Hasil survei yang dirilis sejumlah lembaga survei nasional mengonfirmasi hal itu. Nama Ridwan Kamil konsisten berada dalam lima besar sosok paling populer (popularitas) atau paling dipilih (elektabilitas) calon presiden. Bahkan, di Jawa Barat namanya bersaing ketat dengan pemain lama Prabowo Subianto pada kisaran 90 persen. Meski begitu, ada sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan Emil, sapaan Ridwan Kamil, menuju perhelatan 2024 mendatang.
Temuan survei Parameter Politik Indonesia yang dilakukan pada Juni 2021 lalu menunjukkan popularitas Ridwan Kamil di Jawa Barat bertengger di posisi kedua dengan persentase sebesar 86,76 persen. Gubernur Emil hanya terpaut 3 persen dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di posisi pertama sebesar 89,73 persen. Pun jika melihat tingkat elektabilitas. Emil yang mengantongi elektabilitas 18,4 persen, lagi-lagi hanya kalah dari Prabowo dengan elektabilitas 26,8 persen.
“Sebagai gubernur, Kang Emil dikenal 90 persen warga Jawa Barat. Selevel dengan popularitas Prabowo Subianto. Popularitas Kang Emil masih mungkin ditingkatkan hingga di atas 90 persen mengingat kiprahnya sebagai gubernur yang dapat dimaksimalkan jelang 2024,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno dalam diskusi politik lokal Indonesia seri perdana yang diprakarsai Landscape Politik Lokal Indonesia belum lama ini.
Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini menegaskan, Ridwan Kamil merupakan figur yang patut diperhitungkan. Dalam berbagai survei yang dilakukan, baik lembaga yang dipimpinnya maupun sejumlah lembaga lain, Ridwan Kamil selalu masuk dalam bursa capres 2024. Terutama masuk lima besar.
“Masuk lima besar itu bukan perkara gampang. Sudah banyak tokoh atau ketua umum partai melakukan roadshow, bikin baligo, pencitraan, dan lain-lain, tapi susah masuk dalam lima besar. Orang bukan semakin suka, tapi makin sebal. Di tengah kesulitan ekonomi dan pandemi, melihat baliho itu bukan simpati yang didapat, tapi rasa sebal. Ini orang kok asik sendiri. Orang berkelahi dengan hidup, dengan mati, tiba-tiba ada elite yang seakan-akan bakar logistik hanya untuk dirinya, bukan untuk kepentingan akyat,” ujar Adi.
“Karena itu, ketika bicara politik, Gubernur Jawa Barat saat ini salah satu nama yang masuk dalam radar survei. Namun, suka atau tidak suka, negara kita secara tidak langsung atau bahkan langsung dikuasai oleh rezim partai politik. Kalau kita belajar politik, suka atau tidak, kita ini dikendalikan oleh partai politik. Kang Emil boleh punya popularitas dan elektabilitas yang relatif oke, tapi tanpa dukungan partai nada-nadanya agak sulit,” lanjut Adi.
Menurutnya, popularitas dan elektabilitas Ridwan Kamil menjadi poin penting mengingat Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak di Indonesia. Sekitar 15-20 persen pemilih itu ada di Jawa Barat. Adi menyebutnya sebagai idola sekaligus magnet bagi semua kandidat. Jawa Barat menjadi penentu utama pemenang kontestasi Pilpres. Bersama dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Jawa Barat merupakan battle ground, lading pertempuran Pilpres.
“Jawa Barat dengan figurnya Kang Emil menjadi idola dan menjadi magnet. Apalagi Kang Emil menjadi salah satu sosok yang masuk dalam bursa capres. Pasti menjadi idola. Cuma yang harus dihadapi Kang Emil ini saya kira ada dua. Pertama, terkait partai politik. Kedua, harus ngebut karena 2023 merupakan masa akhir pemerintahannya. Tinggal satu tahun lagi. Artinya, kalaupun Kang Emil masuk lima besar radar survei, elektabilitasnya harus naik, lah! Entah itu gimana caranya,” ungkap Adi.
Dibandingkan dengan nama lain seperti Ganjar Pranowo, Adi menilai naiknya popularitas Emil cenderung lambat, pelan-pelan. Beda dengan Ganjar Pranowo yang semula kecil, tapi kemudian melejit menguntit popularitas Prabowo Subianto. Meski begitu, dia menilai potensi Emil untuk mengatrol popularitasnya masih sangat besar. Berbeda dengan Prabowo yang boleh dibilang sudah mentok.
“Prabowo itu bekal popularitas dan elektabilitasnya sudah lama. Depositnya sudah sejak 15- 20 tahun yang lalu. Dalam logika statistik, 20 atau 30 persen yang dimiliki Prabowo tidak cukup aman untuk memenangkan pemilihan. Kecuali elektabilitasnya itu 35-40 persen ke atas,” tandas Adi. Selain dua hal tadi, Adi melihat ada PR ketiga yang juga penting untuk diperhatikan Ridwan Kamil. Yakni, memperluas basis pemilih. Temuan Parameter menunjukkan basis Ridwan Kamil terkonsentrasi di Jawa Barat dan sebagian kecil di Jakarta dan Banten. Karena itu, penting bagi Ridwan Kamil mengembangkan basis di daerah yang menjadi battle ground, termasuk Sumatera dan Kalimantan. Pada saat yang sama, Emil harus merawat basis Jawa Barat yang juga saat ini masih berbagi dengan nama-nama lain seperti Prabowo, Anies, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan lain-lain.
Menyoroti secara khusus partai politik, Adi mengingatkan Undang-undang Pemilu mengatur secara jelas bahwa capres didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dia menyebutnya “akidah politik” yang tidak bisa diganggu-gugat. Artinya, salah satu hambatan yang cukup serius bagi Emil adalah mendapatkan kendaraan partai politik.
“Menurut saya, sudah tepat Kang Emil beberapa waktu lalu sudah sounding bahwa tahundepan itu masuk dalam salah satu bagian partai politik. Tentu, Kang Emil sudah berpikir realistis bahwa untuk mencalonkan diri menjadi presiden itu harus melalui partai politik, tidak bisa perseorangan. Tidak mungkin jalur independen seperti kepala daerah. Saya menyebut bahwa negara kita dikendalikan partai politik dalam konteks itu,” ungkap Adi.
Di bagian lain, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat Zaki Hilmi menjelaskan, problem umum pemilihan di Indonesia berkutat pada pragmatisme politik elite. Ini menyangkut politik dinasti dan oligarki partai politik. Kondisi ini diperburuk dengan residu keberlimpahan informasi, seperti hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam.
Belum lagi menyangkut distorsi politik media massa dan masyarakat yang permisif politik uang. Politik Lokal Indonesia Sementara itu, Direktur Eksekutif Landscape Politik Lokal Indonesia Asep Komarudin menjelaskan, khazanah politik Indonesia masih sangat didominasi narasi besar di tingkat nasional. Polarisasi politik nasional kerap kali merembet hingga akar rumput. Itu yang kemudian mengakibatkan karakteristik dan budaya politik lokal kalah beken dari isu nasional. Kekayaan politik lokal kurang tereksplorasi secara memadai.
“Pada tahun politik 2024 mendatang kita memiliki tiga hajat besar sekaligus: Pilpres, Pileg, dan Pilkada. Melihat pengalaman 2019 lalu, masyarakat cenderung mengabaikan Pileg. Sebaliknya, euforia Pilpres sangat ketat sekaligus sengit. Apalagi jika kita melihat suara sah yang besar pada surat suara Pilpres dibandingkan dengan surat suara pada Pileg. Ini dapat dibaca sebagai gejala bahwa, panggung Pilpres jauh lebih ‘seksi’ ketimbang Pileg,” ungkap Askom, sapaan Asep Komarudin.
Gejala politik tersebut itu yang kemudian mendorong Landscape Politik Lokal Indonesia untuk secara serius melakukan kajian-kajian politik lokal di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Kajian tersebut dilakukan dengan menggelar seri diskusi politik lokal dan survei yang dihelat periodik menjelang 2024. Askom menilai politik lokal memiliki karakteristik unik sehingga tidak bisa dipersamakan satu sama lain. Politik nasional, ungkap Askom, sejatinya menjadi summary dari khazanah politik lokal. Bukan sebaliknya.
“Selain Pilpres dan Pileg, ada 271 Pilkada yang dilaksanakan secara serentak pada 2024 mendatang. Jumlah ini berasal dari 101 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 2022 dan 170 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2023. Ini penting menjadi perhatian kita semua,” tandas Askom. (NJP)