BERITASEJABAR.id – Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menolak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. SINDIKASI menilai bahwa aturan yang mengatur bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dicairkan saat usia 56 tahun merugikan pekerja, terutama para pekerja muda dengan status kerja freelancer atau pekerja lepas.
Ketua Harian SINDIKASI Nur Aini mengatakan bahwa pekerja muda di industri media dan kreatif memiliki perlindungan ketenagakerjaan yang minim. Bahkan, mereka yang berstatus freelancer atau pekerja lepas sering tidak didaftarkan pemberi kerja untuk kepesertaan jaminan ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Dalam kondisi itu, mereka kerap menemui pelanggaran hak ketenagakerjaan seperti upah tidak layak dan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa pesangon. Oleh karena itu, saat mereka mengalami PHK, terlebih saat pandemi Covid-19, pekerja menggunakan dan mencairkan JHT untuk bisa bertahan hidup.
“Perlindungan pekerja yang minim dan banyaknya pelanggaran ketenagakerjaan telah membuat pekerja yang kehilangan pekerjaan menderita, ditambah dengan JHT baru bisa cair pada usia 56 tahun, itu artinya pemerintah memutus nafas para pekerja untuk bertahan hidup usai tidak memiliki pekerjaan,” kata Nur Aini.
Alih-alih memperbaiki kondisi jaminan ketenagakerjaan bagi mereka yang rentan, pemerintah justru semakin menekan hidup pekerja dengan ketentuan JHT cair di usia 56 tahun. Argumentasi pemerintah bahwa nantinya jaring pengaman sosial tersebut bisa terpenuhi lewat skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan juga dinilai SINDIKASI sangat bermasalah.
Pertama, PP 37/2021 merupakan aturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja yang telah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, aturan PP 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dengan segala syarat dan ketentuannya juga masih menyisakan lubang-lubang yang makin membuat posisi pekerja lemah.
“Pasal 20 Ayat 1 PP No 37/2021 menyatakan bahwa pekerja yang mengalami PHK karena mengundurkan diri tidak mendapatkan manfaat JKP. Padahal faktanya di lapangan kami, di SINDIKASI menemui banyak pekerja yang diminta bahkan dipaksa mengundurkan diri agar perusahan tidak membayarkan hak-hak normatif yang mestinya diterima pekerja saat mereka mengalami PHK,” ujar Koordinator Divisi Advokasi SINDIKASI Bimo Aria Fundrika.
Kemudian, pasal 19 Ayat 3 PP 37/2021 yang menyatakan bahwa manfaat JKP dapat diajukan setelah peserta memiliki masa iuran paling sedikit 12 (dua belas) bulan dalam 24 (dua puluh empat) bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 (enam) bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi Pemutusan Hubungan Kerja atau pengakhiran hubungan kerja jelas merugikan pekerja.
SINDIKASI yang anggotanya didominasi oleh para pekerja muda berusia rentang 20-35 tahun menilai posisi pekerja sangat rentan di tengah UU Cipta Kerja. Pekerja bisa di-PHK kapan saja. “Dengan UU Cipta Kerja, pekerja yang telah membayar iuran tetapi di-PHK sebelum 12 bulan masa kerja tidak dapat memanfaatkan JKP, sementara manfaat JHT dengan aturan terbaru juga hanya bisa dicairkan saat usia 56 tahun,” kata Bimo.
Oleh karena itu SINDIKASI menuntut:
1. Cabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua yang cacat hukum atau inkonstitusional
2. Wajibkan pemberi kerja mendaftarkan freelancer atau pekerja lepas untuk kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan atau pekerja lepas atau sekurang-kurangnya membayarkan iuran premi sebagai tambahan komponen gaji
3. Pengelolaan dana BPJS Ketenagakerjaan yang transparan dan bertanggung jawab kepada pemberi dana yaitu para pekerja
4. Terciptanya jaminan kehilangan pekerja yang lebih inklusif dengan menyelesaikan berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang lebih krusial dan prioritas