BERITASEJABAR.id – Syarikat Islam bermuasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI), merupakan organisasi pertama yang lahir di Nusantara. SDI dibentuk oleh Haji Samanhudi dan kawan-kawan sebagai perkumpulan pedagang Islam untuk melawan Belanda yang menguasai ekonomi rakyat. SDI menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) yang kemudian menimbulkan kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
SDI memiliki tujuan: 1. Menghadapi persaingan dagang dengan pedagang Tiongkok dan sikap superioritasnya. 2. Mengatasi tekanan dari bangsawan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia khususnya di Solo. 3. Sebagai bentuk perlawanan menghadapi semua penghinaan terhadap rakyat bumiputera. 4. Mempersatukan para pedagang batik. 5. Memajukan sekolah-sekolah Islam. 6. Mengutamakan sosial ekonomi. (Jevi Nugraha, 2021).
Di bawah pimpinan H. Samanhudi, SDI berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. Samanhudi merasa pedagang pribumi harus memiliki organisasi sendiri untuk membela kepentingan rakyatnya. Mulanya, ia membentuk kelompok Rekso Roemekso yakni kelompok ronda untuk melindungi para pedagang batik dari ancaman perampok.
Kepemimpinan Samanhudi tidak berlangsung lama, apalagi kesehatannya mulai terganggu yang membuatnya tidak dapat aktif lagi dalam organisasi tersebut.
Hingga Tjokroaminoto yang semula komisaris, kemudian diangkat menjadi ketua menggantikan Samanhudi. Pada tahun 1912, oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang lain seperti politik.
Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut: (a) Mengembangkan jiwa dagang; (b) Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha; (c) Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat; (d) Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam, dan (e) Hidup menurut perintah agama.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya Sarekat Islam dalam Kongres tahun 1916, dikenal pula sebagai CSI (Central Sarekat Islam), dan diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada 16 Maret 1916. Tjokroaminoto di Kongres CSI 1916 ia menyatakan CSI akan bekerjasama dengan pemerintah dalam memajukan kehidupan rakyat, lalu kemudian SI mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis.
CSI kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet melalui ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) sejak tahun 1914, dan berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh muda CSI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo.
Hal ini menyebabkan CSI pecah menjadi “SI Putih” yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan “SI Merah” yang dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme. SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo) berhaluan kanan. SI Putih inilah yang kemudian tetap mempertahankan Sarekat Islam, sedang SI Merah kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di Kongres SI tahun 1922, Tjokroaminoto menekankan perjuangan SI berdasarkan Islam. Kongres SI bulan Februari 1922 itu memberi banyak arti kepada hubungan SI dan PKI. Kongres tersebut menetapkan dibentuknya Partai Sarekat Islam (PSI) dinisiasi oleh Abdul Moeis dan Agus Salim. Pada akhir kongres, PKI menyatakan keluar SI. SI dan PKI menempuh jalan masing-masing.
Pada Kongres tersebut, para pengurus utama melakukan penegakan disiplin terhadap keanggotaan organisasi, sebagai upaya untuk melenyapkan pengaruh komunis dari Sarekat Islam. (Deliar Noer, 1982)Pada kongres tahun 1929, PSI menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai kemerdekaan nasional, karenanya, PSI ditambah namanya dengan Indonesia sehingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Struktur pimpinan pusat PSII dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Dewan Partai, bertugas sebagai badan pembuat aturan, dan (2) Lajnah Tandfidziyah sebagai penyelenggara partai, terdiri dari departemen urusan Umum, Keuangan, Ibadat, Pengajar, Perburuhan, Pertanian, Pergerakan Wanita, dan Pergerakan Pemuda) (Amin, 1996: 69).
Anggaran Dasar PSII menetapkan ada tujuh sumber keuangan partai yaitu : (1) Uang pangkal atau uang antree; (2) Uang iuran dan kontribusi; (3) Infaq; (4) Sadaqah; (5) Zakat dan fitrah; (6) Wakaf; dan (7) Beras Parelek. Lalu usaha dalam bidang ekonomi, mendirikan beberapa Departemen Ekonomi dan Perdagangan.
Melalui Departemen ini PSII membentuk koperasi dengan motto dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Disamping itu menganjurkan rakyat meningkatkan produksi pangan dan sandang dengan perluasan pertanian dan penanaman kapas demi kepentingan pertenunan. (Tjokroaminoto, 1983:102).
Dalam bidang politik, PSII banyak mengadakan rapat propaganda, dengan tema anti-imperialisme, melancarkan kritik pada pemerintah kolonial (Amin, 1996: 61).
Di tahun 1930-an lepasnya kepeloporan partai, PSII mengalami tantangan hebat. Di bidang agama, PSII mengalami degradasi dengan munculnya NU, Muhammadiyah Persatuan Islam (Persis), Al Iryad, Jamiatul Khair dan Persyarikatan Ulama
Kemudian terjadi prahara internal ketika Soekiman Wirjosandjojo dan beberapa anggota dipecat tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. (Thaba, 1996:143) Golongan Soekiman menginginkan agar asas yang dianut PSII beralih dari Islam menjadi kebangsaan meskipun tidak lantas menghilangkan unsur keagamaan (Muchtaruddin Ibrahim, 1985:67). Setelah hengkang dari PSII, Soekiman dan kawan-kawan membentuk Partai Islam Indonesia, disingkat PARII (Cahyo Budi Utomo, 1995:69).
Sepeninggal Tjokroaminoto yang wafat pada 1934, kisruh PSII kian kentara. Agoes Salim yang mengisi posisi Tjokroaminoto sejak 1935 mulai disorot karena pamor PSII dinilai semakin merosot, sehingga memaksa Agoes Salim untuk mengundurkan diri dalam kongres tahun 1936. Selanjutnya, kongres memilih adik kandung Tjokroaminoto, yaitu Abikoesno Tjokrosoejoso.
Pada 1936, Agoes Salim beserta A.M. Sangaji, Mohammad Roem, Soedjono Hardjosoediro, dan lainnya membentuk Barisan Penyedar Partai Sarekat Islam Indonesia. Ini membuat Abikoesno melakukan pemecatan terhadap Agoes Salim dan kawan-kawan. Tahun 1939, terjadi lagi dengan pemecatan terhadap Maridjan Kartosoewirjo. Kartosoewirjo kemudian mendirikan partai politik dengan nama yang sama yakni PSII.
Pada tahun 1942, orang Jepang pendudukan melarang semua aktivitas politik. Namun, pada tahun 1943, Jepang mendirikan sebuah organisasi bernama Masyumi dalam upaya untuk mengendalikan Islam di Indonesia. Sejak saat ini PSII menjadi bagian dari Masyumi. Dan tahun 1945 Masyumi menjadi Partai, sebagai wadah politik satu-satunya bagi umat Islam Indonesia.
PSII yang sejak Proklamasi kemerdekaan berkeinginan menghidupkan kembali eksistensi partainya, namun tak lama kemudian bergabung ke dalam Partai Masyumi.
Pada tahun 1947, PSII keluar dari Masyumi, Hal ini tidak terlepas dari ”godaan politik” Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang membutuhkan legitimasi partai Islam, setelah Masyumi menolak bergabung kedalam kabinet yang dipimpinnya.
PSII menjadi partai sendiri, dan kemudian bergabung dalam kabinet Amir Syarifuddin, dengan memperoleh tujuh pos kementerian (Deliar Noer, 1987: 76-77)
Setelah Soekarno tumbang, PSII yang secara politis berpengaruh besar, oleh Soeharto tetap diperbolehkan hidup kembali.
Bahkan PSII termasuk salah satu partai yang turut serta dalam Pemilu tahun 1971. Pada pemilihan ini, PSII berada di urutan 5 dengan perolehan suara sebanyak 1.308.237 (2,39%) dan mendapatkan 10 kursi dari 360 kursi.
Pada tahun 1973, partai ini bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), karena pemerintah menginginkan partai politik yang ada dapat dikurangi menjadi tiga. Partai yang berbasiskan pada Islam, (PSII, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Parmusi) berfusi menjadi PPP. Saat PSII diminta untuk berfusi, pimpinan partai hasil Majelis Tahkim ke 33 di Majalaya dibawah kepemimpinan M. CH. Ibrahim menolaknya.
Sikap keras inilah yang kemudian dilihat pemerintah sebagai ”penentangan” dan menyulut aksi “kudeta” oleh “Tim Penyelamat PSII” yang dilakukan MA. Gani, Thayeb Gobel dan kawan-kawan.
Buntut dari konflik internal PSII berujung pada perpecahan partai (kubu Matraman dan Kubu Latumenten), maka pemerintah berpihak kepada faksi moderat dibawah kepemimpinan Anwar Tjokroaminoto dengan mengakuinya sebagai pimpinan legal PSII.
Reformasi tahun 1998, sebagai momentum membangkitkan kembali PSII. Kaum Syarikat Islam kemudian mendirikan dua partai yang membawa nama Syarikat Islam, PSII yang dipimpin oleh Taufik R. Tjokroaminoto sebagai penerus kubu Matraman (Anwar Tjokroaminoto) dan PSII 1905 dibawah kepemimpinan KH. Ohan Sudjana yang merupakan penerus kubu H.MCH. Ibrahim.
Hasil pemilu 1999 ternyata tidak begitu menggembirakan bagi kedua partai yang mengatasnamakan kaum Syarikat Islam, PSII hanya memperoleh 375.920 suara atau 0,36% dari total perolehan suara nasional, sementara PSII 1905 hanya memperoleh 152.820 suara atau 0,14% dari total perolehan suara nasional.
Dengan hasil tersebut maka PSII gagal melewati ambang batas electoral threshold 2% sehingga kemudian beralih kembali menjadi ormas, melalui Majlis Tahkim (kongres nasional) ke-35 di Garut tahun 2003.
PSII bergeser kembali menjadi Ormas, dengan nama Syarikat Islam Indonesia (SI Indonesia). Dalam Majlis Tahkim ke-40 di Bandung, tahun 2015 terpilih Hamdan Zoelva. sebagai Ketua Umum Laznah Tanfidziyah, dan melalui keputusan tertinggi organisasi tersebut, Syarikat Islam kembali ke khittahnya sebagai gerakan dakwah ekonomi.
Dan dalam Sidang Paripurna ke-7 Kongres Nasional Syarikat Islam ke-41 di Solo, tahun 2021. SI Indonesia mengusung ngan tagline: “Kembali ke Laweyan”. Spirit kembali ke Laweyan artinya kembali ke adat dan budaya bangsa dengan semangat berusaha bagi anak negeri, kembali memajukan Usaha Kreatif Mandiri (UKM) SI dan kembali berjuang untuk kemerdekaan sejati.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa SI Indonesia sudah mulih ka jati mulang kaasal, congo nyurup dina puhu, atau dalam Bahasa ilahiah adalah Innalillahiwainnailaihirojiun. Yang tadinya adalah sebuah Ormas (SDI) sekarang kembali ke asal menjadi Ormas kembali dalam wujud SI Indonesia, setelah menapaki rawayan jati kehidupan politik Indonesia, dari belum adanya Indonesia sampai menjadi Indonesia seperti saat ini.
Oleh: Ade Priangani
Penulis adalah Dosen Prodi Hubungan Internasional Fisip Unpas