BERITASEJABAR.id – Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan menjadi salah satu persoalan yang terus mendapatkan sorotan dan belum menunjukkan akan berakhir.
Beberapa waktu lau, dua belas santriwati di sebuah pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan, ustadz sekaligus pengasuh pondok pesantren.
Kasus serupa juga pernah terjadi di salah satu pesantren di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan di mana tujuh santriwatinya menjadi korban pelecehan yang dilakukan oleh pengasuhnya sendiri.
Rentetan kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren seakan menginformasikan kepada publik bahwa lembaga pendidikan belum menjadi ruang yang aman bagi peserta didik dalam menuntut ilmu.
Justru yang terjadi sebaliknya, dunia pendidikan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi sebagian orang.
Melihat berbagai kasus kekerasan yang terjadi, tampaknya upaya untuk memutus kekerasan harus menjadi agenda utama dari pemerintah dan lembaga pendidikan sehingga kasus serupa tidak terulang kembali. Apalagi, banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi setiap tahunnya.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sejak 2018-2019 sudah terjadi sebanyak 37 kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pondok pesantren. Bahkan, Komnas Perempuan menempatkan pondok pesantren di urutan kedua dalam hal kasus kekerasan seksual.
Setidaknya ada dua faktor penyebab maraknya pelecehan seksual di lingkungan pesantren. Pertama, iming-iming dari pelaku. Dari kasus Herry Wirawan terungkap bahwa para korban kerap diiming-imingi jaminan masa depan seperti pemberian beasiswa dan lain-lain.
Dengan rayuan dan iming-iming hadiah tersebut para santriwati dengan mudah diperdaya dan ditipu oleh pelaku. Kedua, posisi santriwati yang tidak berdaya.
Di lingkungan pondok pesantren posisi ustadz atau senior bisa dibilang superior sehingga keberadaannya sangat dihormati dan disegani oleh bawahannya.
Bagi santriwati yang lemah dan tak memiliki power untuk melawan, maka akan dijadikan kesempatan oleh sebagian oknum untuk melancarkan aksi bejatnya.
Bahkan, seringkali para korban mendapatkan ancaman dari pelaku jika melakukan perlawanan.
Apa Solusinya?
Tindak kekerasan seksual sebenarnya tidak hanya terjadi di lingkup rumah tangga, tetapi sudah bermutasi ke ranah lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) yang semestinya menjadi tempat penanaman nilai-nilai akhlak bagi peserta didik.
Bahkan, Ahmad Baedowi (2009) menyatakan, tindak kekerasan di dunia pendidikan sudah menjadi suatu produk atau konstruksi sosial tersendiri.
Kita pasti tidak mengamini segala bentuk tindak kekerasan. Oleh karena itu, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan perlu dicegah dan dilawan bersama-sama agar dampak yang ditimbulkan tidak melebar ke mana-mana.
Tentu saja, dengan tidak menafikan peran penting negara dan lembaga pendidikan itu sendiri, masyarakat perlu hadir sebagai pengawas terutama saat terjadi kasus-kasus amoral di lingkungan pendidikan.
Jadi, masyarakat dan pihak-pihak yang peduli terhadap dunia pendidikan perlu mengontrol lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini memang tidak imun dari tindak kekerasan.
Sementara itu, santriwati yang menjadi korban kekerasan seksual harus diberikan perlindungan hukum berupa jaminan keselamatan bagi korban dan keluarganya, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial dan pelaku dihukum sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Hal lain yang mesti dilakukan adalah penguatan pendidikan seksual. Maraknya kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan mendorong pihak pemerintah dan lembaga pendidikan untuk memperkuat pendidikan sekusualitas.
Absennya pendidikan seksualitas dalam keluarga dan dunia pendidikan di Indonesia dapat memicu tingginya tingkat kekerasan seksual.
Pendidikan seksualitas akan memberikan kesadaran atas indentitas diri, hubungan dengan pihak lain, kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang bertanggungjawab.
Sebab itu, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis Islam perlu memperkuat pendidikan seksualitas sehingga pesantren tetap mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai benteng terakhir pendidikan karakter generasi bangsa. (KabarFajar)